watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

FLAWES VENUS

CHAPTER ONE
Bab I
Surabaya, awal 2000
Aku terbangun dan mendapatkan laki-laki itu
sudah berada di sebelahku. Wajahnya yang
berwibawa tampak semakin tua dengan kerutan-
kerutan yang menghias dahinya. Sekejap
perasaan kasihan dan sayang merasuki hatiku,
namun kebencian yang mendadak menyusul
membuat perasaan itu hilang seketika. Yang
kulihat di sebelahku beberapa saat kemudian
hanyalah seorang tua yang kotor dan sama sekali
tidak berperikemanusiaan. Aku membencinya.

Sungguh-sungguh membencinya, sampai aku
ingin membunuhnya saat itu juga. Seandainya
hati dan tangan ini mampu.
“Kamu baik-baik saja. Maafkan saya.”
Maafkan?
Kupandangi setiap gerakan bibirnya saat berucap.
Maaf apalagi yang kauharapkan dariku?

Kurangkah kepasrahanku selama ini sebagai bukti
maafku padamu? Aku tak sanggup memandang
matanya. Tidak sekarang. Kupejamkan mataku
dan kugigit bibir bawahku. Air mata ini tak boleh
keluar sekarang.
Dari balik selimut putih kuraba bekas jahitan di
bawah perutku. Inikah yang kau ingin
kumaafkan?
Aku memaafkanmu saat menyetubuhiku.
Berulang-ulang, bukan hanya sekali. Sampai
adikku meringkuk di rahimku. Adikku. Tidakkah
kau sadar itu iblis tua?
Adikku. Siapa lagi?
Yang akhirnya kurasa lebih bernasib mujur
karena tak pernah mempunyai kesempatan untuk
mencicipi getir kehidupan seperti adanya diriku.

Dan sekarang kamu masih ingin aku
memaafkanmu?
Ya, kumaafkan kamu.
Papa.

Bab II

Aku merasakan pandangannya. Aku merasakan
air liur yang tertelan di tenggorokannya saat
melihat ketelanjanganku.
“Thomas. Keluar.”
Aku membenci seringai di wajahnya. Kubalikkan
tubuhku dan mengenakan kausku sebelum
seringai itu benar-benar membuatku menjerit.
“Kamu melakukan itu dengannya, kan?”
Dan sekarang bisikan itu begitu dekat di telingaku,
membuat seluruh bulu di tengkukku berdiri.
“Apa-apaan kamu!”
Kubalikkan tubuhku tapi tangannya sudah
menggenggam pergelanganku. Wajahnya
menempel di sisi wajahku dan menelusurinya.
Dapat kurasakan nafasnya yang berbau alkohol
menyapu saraf-saraf pennciumanku.
“Ya. Kan?” dan sekarang ia sudah mendesis di
depan bibirku.

Kurenggut tanganku dan kutempeleng wajah
adikkku, membuatnya sedikit terhuyung lalu
terjatuh. Dan ia hanya tertawa.
“Pelacur.”
Thomas menyumpah sebelum meninggalkan
kamarku sambil mengelus pipinya yang
memerah.
Pelacur.
Memang aku seorang pelacur.
Kuhempaskan tubuhku di atas tempat tidur dan
kubenamkan wajahku di bantal. Kubiarkan air
mataku mengalir lepas dan membasahi semua
yang bisa dibasahi. Kudekatkan cincin emas di jari
manisku kebibir dan mengecupnya sambil
terisak.

“Aku… kini… seorang pelacur.”
*
“Ke mana Thomas?”
“Mboten ngertos, nDoro.” Mbok Ijah hanya bisa
menunduk-nunduk sambil menatap lewat
matanya yang sudah menua. Laki-laki itu
mengalihkan pandangannya padaku dan
mencoba mencari sebuah jawaban. Kumasukkan
sendok itu kemulutku, masih berusaha menikmati
makanan yang mendadak menjadi pahit.
“Aku juga tidak tahu.”
Lelaki itu menghela nafasnya dan mengambil lauk
atas meja. Jangan berdoa! Jangan pernah!! Orang
sepertimu tak layak untuk berdoa. Tapi toh ia
melipat tangannya dan bergumam pada
Tuhannya.

Bab III

“Lagi?” desahku beberapa saat kemudian. Namun
lelaki itu hanya mengeluh dan memejamkan
matanya. Sekejap. Tak satupun kata keluar dari
bibirnya saat ia mengecup buah dadaku. Bangsat.
Sampai kapan kamu melakukan ini?
Lelaki itu mengatupkan telapak tangannya dan
meremas buah dadaku. Satu hal yang sudah
kuketahui pasti saat itu. Ia masih
menginginkannya. Dan sekarang ia sudah
mengangkat daster tidurku dan berusaha
melepaskan pengait bra-ku. Ah. mungkin aku
semakin gila kalau aku terus menikmati hal ini.
Pelacur.

Mungkin aku seorang pelacur, karena ternyata
aku mulai menikmati semua sentuhan yang
menggetarkan pori-pori di tubuhku. Aku
merasakan setiap getaran saat lidahnya
menyentuh dan menelusuri kulit leherku, puting
payudaraku, perutku. Dan bahkan aku
menggelinjang saat jemarinya menari di atas
lekukan-lekukan tubuhku. Bekas luka itu. Ia
menyentuhnya. Iblis. Untuk apa kamu menangis?
Kurasakan dada telanjangku dibasahi oleh air
mata yang menetes dari pipinya. Masih ingatkah
kamu akan dosa? Tapi kenapa kamu tidak
berhenti? Malah sekarang menarik celana dalamku
menelusuri paha dan betisku? Sebejat itukah
dirimu?
Pelacur.

Mungkin aku seorang pelacur karena ternyata
kemaluanku basah di luar kehendakku. Mungkin
hanya pelacur yang merasa terangsang tanpa
perasaan sedikitpun. Mungkin pula hanya pelacur
yang membiarkan tubuh lelaki manapun berkutat
di atasnya tanpa ekpresi apapun.
Perut gendutnya menindihku, membuatku
semakin susah bernafas, batang penisnya
bergerak-gerak di dalamku, menusuk dan
menekan, meninggalkan semburat panas dari
selangkanganku. Bangsat itu memakai kondom.
Dan kesadaran itu membuatku semakin
ketakutan. Bukankah ia akan semakin leluasa
terhadapku? Dan sekarang ia akan dapat
melakukannya tanpa beban resiko yang selalu
membayangi.

Dan bahkan kini aku sudah tidak menangis lagi.
Kebencian dan rasa muak membuatku seakan
lupa untuk menangis. Kupejamkan mataku,
kugigit bibir bawahku, menunggu sengatan itu
datang menghampiriku dan menjalari saraf-
sarafku.
“Ahgg..” Lelaki itu mengerang dan mengejang.
Tak ada semburan yang kurasakan. Namun tetap
getaran dan sengatan yang sama.
Aku seorang pelacur.
Karena aku menikmatinya.
Tanpa ekspresi.
*
Kututupi ketelanjanganku dengan selimut.
Akhirnya air mata ini keluar juga. Bantal ini mulai
terasa lembab. Beberapa saat kemudian
kududukkan tubuhku dan mengambil sebuah
buku biru kecil dari dalam laci. Kupandangi buku
kecil itu dan merasakan air mata kembali menetes
di pipiku. Sudah lama sejak terakhir aku
menuliskan kata hatiku di buku ini. Batinku ingin
membuka dan menuliskan lagi beberapa patah
kata. Namun benakku menyadari
ketidakhidupannya. Menyadari kekonyolanku,
karena aku sekarang bertarung dengan
kehidupan, dan sesuatu yang mati takkan
menolongku.

Kumasukkan lagi buku itu ke dalam laci setelah
menghela nafas dalam-dalam.singgah
Tapi aku tak bertarung sendirian.
Sahabatku dan kekasihku. Kalian hidup dalam
hatiku.
Selamanya. Kau dan dia.
Kukecup cincin emas di jari manisku sebelum
melangkah menuju kamar mandi. Setidaknya aku
harus membersihkan dosa-dosa yang tersisa dari
tubuhku.

Sampai kapan?
Entahlah.

Bab IV

Jadi pagi ini terasa begitu indah. Matahari bersinar
lembut dan memberikanku nafas baru. Hatiku
sedikit lega, karena iblis itu akan pergi seminggu
lamanya. Bahkan Mbok Ijah terdengar bersiul-siul
dari dapur. Apakah karena hawa setan itu sudah
tidak menaungi rumah ini lagi? Memikirkannya
membuatku sedikit tersenyum. Ya. Aku harus
bisa tersenyum hari ini. Karena pagi ini terasa
begitu indah.

Kupandangi orang-orang yang lalu lalang di jalan.
Sekejap keinginan untuk bermasyarakat dan
kuliah seperti pemudi sebayaku mengusik.
Namun aku tidak ingin menghancurkan pagi ini.
Jadi kukembangkan senyumku dan berusaha
meyakinkan diriku bahwa yang ada di luar istana
emas ini adalah sebuah dunia yang mungkin lebih
menyakitkan.
*
Kubiarkan air dingin membasuh otak dan hatiku.
Kugosokkaan spons itu perlahan di sekujur kulit
tubuhku, kunikmati setiap kesegaran yang bisa
kurasakan. Dalam pikiranku melayang-layang
sosok kekasihku.

Sedang apa kau di sana, Sayang?
Apakah kau sedang bercanda bersama para
bidadari?
Bagaimana mungkin kamu tidak menanti
kedatanganku?
Aku cemburu. Tapi…..
Apakah engkau yang saat ini ada di sini
menemaniku. Dan batang penismukah yang
sekarang memenuhi rongga kewanitaanku?
Bukan gagang gayung yang keras dan kaku?
“Ahh….” desahan demi desahan keluar dari
bibirku.
Hey, sejak kapan aku merusak diriku sendiri?
Cepat-cepat kukeluarkan gagang gayung itu
sebelum kemaluanku disobeknya. Tapi
kenikmatan dan keinginan itu masih ada. Dan
alangkah pelacur-nya aku seandainya detik ini aku
menginginkan iblis itu menyentuh dan
menggagahiku.

Kukeringkan tubuhku dan bergegas melangkah
keluar dari kamar mandi. Pori-poriku
mengencang saat angin dingin menerpa
ketelanjanganku. Dingin yang menyegarkan dan
menyapu sebagian dari hasrat yang berkecamuk.l
“Mengapa begini sunyi? Ke mana Mbok Ijah?
Belanja?”
Kusisiri helai demi helai rambut yang menghiasi
kepalaku di depan kaca sambil mengagumi diriku
sendiri. Alangkah cantiknya aku. Dan alangkah
kotornya aku.

Tertawa sinis adalah pujian terbaik yang bisa
kuberikan pada diriku sendiri akhir-akhir ini.
Kututupi tubuhku dengan pakaian seadanya,
membiarkan payudaraku tanpa bra, karena
keinginan dan hasrat itu masih ada. Dan aku
merasa seksi dengan sehelai kain menutupi
tubuhku. Kupandangi lagi diriku di depan cermin,
menikmati puting susu yang terbayang dari balik
kaus tipis yang kukenakan.
Alangkah seksinya aku. Dan aku tertawa sinis.
Lagi.

“Bikin puding,” desisku setelah puas mencemooh
diriku.
Kesibukan mungkin perlu di pagi yang indah ini.
Kubuka pintu kamar.
Dan tangan-tangan itu merenggutku dengan
kasar.
Bab V
“Jadi ini dianya.”
Kedua lengan itu mendorong tubuhku dan
menghempaskannya ke atas tempat tidur. “Siapa
kamu!” dan histeriaku justru membuat lelaki itu
tersenyum. Matanya yang menyipit menatapku
dan lidahnya menjilat sedikit air liur yang menetes
ke dagunya.

“Luar biasa cantiknya. Sungguh luar biasa.”
Dan apakah itu menjadi alasanmu untuk
menamparku dan merenggut kaus yanng
menutupi tubuhku??
“Jangan….”
Tapi apakah ia akan merasa iba lalu mendadak
memelukku dan menangis bersamaku? Tentu
tidak setelah melihat ketelanjanganku. Tangannya
bergerak dan giginya yang dingin menyentuh
kulit buah dadaku. Lututnya menekan kakiku,
tubuhnya terasa begitu berat, sehingga setiap
rontaanku terasa begitu sia-sia.
“Tolong. Jangan lakukan ini.”
Tangisan itupun terasa begitu percuma saat
mulutnya menghisap puting payudaraku dan
memberikan rasa perih di dadaku. Tangannya
menahan kedua lenganku di atas kepala. Dengan
kasar lelaki itu menyusupkan jemarinya ke balik
celana pendekku dan menekan kemaluanku,
membuatnya basah tanpa kehendakku.

“Ya Tuhan, kamu benar-benar menikmatinya.”
Lelaki itu merenggut pula sisa-sisa penutup
ketelanjanganku, jemarinya menusuk dan
memainkan liang kemaluanku, membuatku
merintih dan menggelinjang.
Siapapun di atas sana. Ijinkan aku melalui semua
ini.
Dan segalanya menjadi gelap.
*
“Kondom….”
“Ayo…hati-hati….”
“Cepaaat…aku…..”
Gumam demi gumam menyusup di telingaku.
Tanganku begitu tak berdaya dengan tali-tali ini.
Dan pantatku terasa empuk dengan bantal yang
menyangganya. Empuk dan sakit, saat penis-
penis itu bergerak-gerak memenuhi
kewanitaanku. Satu dan lainnya. Silih berganti.

Begitu cepat. Begitu menyakitkan.
Gelap dan terang silih berganti.
Gigitan dan jilatan, cakaran dan remasan. Erangan
dan rintihan kenikmatan. Juga gelap dan terang.
Silih berganti.
Tolong aku.
Siapapun.

*

“Hutang?” desisku sambil meraba pergelangan
tangaku yang memerah. Mungkin apabila aku
tidak setegang tadi, aku bisa melepaskan tali-tali ini
dengan mudah. Tapi orang-orang itu sudah
pergi. Tentu saja setelah mereka merasa puas
dan bosan.
Kurasa pagi ini tidak seindah yang kubayangkan.

Tidak dengan kondom-kondom yang berserakan
di lantai. Tidak dengan seprei yang basah di
bawahku. Tidak dengan sperma yang mengering
di bekas luka di perutku.
Kuhampiri tubuh yang meringkuk di sudut
kamar.
Kubelai rambut adikku dengan jemariku,
mengharapkannya untuk sejenak sadar dari
khayalannya dan memeluk tubuhku.
“Ah, Thomas. Apa yang sudah kaulakukan?”
Kududukkan tubuhku di sebelahnya dan
mendekapnya dalam dadaku. Aku masih ingat
tangisnya saat jatuh dari pohon, saat anak-anak
desa mempermainkannya. Dan saat-saat itu aku
selalu ada dan memeluknya.

Memberikannya
perlindungan sejauh apa yang bisa kuberikan
padanya. Dan kini.
Lindungi aku, Thomas.
Jangan siksa aku. Jangan lagi.
Dan kubiarkan diriku terlelap memeluknya.
Adikku yang sangat kusayangi. Satu-satunya.
Bab VI
Salah jika aku harus merasa aman. Salah jika aku
merasa mereka puas setelah mencicipi tubuhku.
Mereka datang lagi. Setelah adikku memutuskan
untuk menebus obatnya dengan tubuh kakaknya.
“Jangan kembali lagi,” desisku lirih sambil
memejamkan mata.
“Tentu saja. Kalau sudah lunas.”
Seringainya membuatku mual. Lelaki terakhir itu
mengecup puting payudaraku sebelum
mengangkat tindihan tubuhnya dan melangkah
keluar tanpa mengenakan sehelai benangpun di
telanjangnya.

Kupandang langit-langit kamar beberapa saat
lamanya. Segala kejadian melintas di benakku.
Begitu cepat. Aku menikmatinya juga. Karena aku
seorang pelacur. Pelacur jelita yang begitu
memuaskan.
Kuraih buku kecil itu dari dalam laci dan
melangkah menuju cermin. Kubiarkan tubuhku
meliuk dan kusibakkan rambutku yang basah
oleh keringat. Aku seperti seorang artis telenovela
perayu yang sering kusaksikan di TV.
Dan aku kembali mengagumi sosok di dalam
cermin.
Gila kamu, umpatku kagum. Masih bertahan.
Tentu saja. Karena kamu seorang pelacur. Kamu
menikmatinya.

Demi segala sesuatu yang sangat berharga dalam
hidupku.
Kubiarkan kepalsuan itu hilang seiring air mata
yang mengalir di pipiku. Ini bukan tangisan,
sebab tiada isak yang keluar dari bibirku. Tanpa
ekspresi lain selain senyuman sinis.
Kupeluk buku kecil itu di dadaku dan kukecup
cincin emas di jari manisku. Lembut penuh
perasaan. Kupejamkan mataku.
CHAPTER TWO
Bab I
“Kamu menginginkannya bukan, Thomas?”
Mata pemuda itu memandangku dengan
matanya yang nanar. Mungkin pertanyaan-
pertanyaan yang menerpa batinnya tidak seindah
yang kubayangkan. Barangkali bukan “mengapa”
atau “tak mungkin”, barangkali justru “akhirnya”
atau “tentu saja”. Yang pasti ia sekarang tertegun
dan mendelik menatap tubuhku yang hanya
terbalut lingerie tipis.

Jadi kudekati dia dan kutempelkan payudaraku di
dagunya. Kuangkat wajahnya, membiarkan
nafasnya memburu dan matanya yang nanar
semakin lebar. Kutepis lengannya yang terangkat
ke sisi tubuhku. Belum saatnya, adikku sayang.
“Katakan kamu menginginkannya.”
“Aku…aku….”
Kukecup bibirnya, memainkan rongga mulutnya
dengan gerakan lidahku. Ia menikmatinya,
matanya terpejam. Kutepis lagi lengannya yang
terangkat. “Berjanjilah padaku, Thomas.”
Kupegang rahangnya dan menatapkan matanya
ke mataku. Kusapu wajahnya dengan hembusan
nafasku. Mempesona.
“Jangan ada lagi orang lain selain kita.”
Kudesahkan kata-kata itu di depan bibirnya.
“Ya.”
Dan kata itu cukup untuk membuatku
membiarkan kedua lengannya merangkul
pinggangku dan membaringkanku ke atas tempat
tidur.

kumpulan Cerita Dewasa Lainya, Dapat Anda Lihat & Baca Hanya Di :
www.ceritaindo.sextgem.com

“Thomas sayang, jangan menangis.”
“Tapi mereka memukuliku.”
“Cup-cup, sayang. Mereka sudah pergi.”
Anak kecil itu menangis dalam dekapanku.
Lemah dan tak berdaya. Dan kulindungi dia
dengan jiwa ragaku.
*
Dan kini batinku merintih saat batang penisnya
memenuhi liang kewanitaanku. Kubiarkan
tubuhnya menggeliat dan bibirnya menjilati
sekujur tubuhku. Ah adikku sayang, berapa
banyakkah pengalamanmu dengan wanita? Nol
besar.
Dan bahkan aku masih sempat bergurau.

“Jangan di dalam.”
Pemuda itu menurut seperti kerbau yang dicucuk
hidungnya.
Mengherankan, mengapa seseorang yang begitu
terpengaruh obat-obatan masih mempunyai
sepercik rasa sadar?
Ah, sudahlah. Enjoy the trip.
Bab II
Empat hari sudah iblis itu tak pulang ke rumah.
Dengan berbagai alasan, akhirnya aku berhasil
mengusir pembantu tua itu keluar dari rumahku.

Dan kini tak ada lagi orang lain. Selain aku dan
adikku, kekasihku yang kusayangi. Dan aku tak
ingin repot-repot memasak, karena itu bukan
keahlianku. Kuputuskan untuk lebih sering
memesan makanan lewat telepon, lagipula tidak
seberapa jauh dibandingkan dengan masakan
Mbok Ijah.
Thomas sudah jarang keluar. Setidaknya apa
yang kutawarkan padanya diterimanya dengan
sepenuh hati. Ah. Mungkin kami sama-sama
bejatnya. Tapi aku tak memusingkan hal itu lagi.

Bukankah aku memang sudah tak lagi memiliki
perasaan untuk menilai.
Kuajarkan pada Thomas bagaimana cara
menggunakan kondom.
Aku tak mau meminum pil KB, karena aku tak
ingin tubuh indahku menjadi rusak karenanya.
Thomas merasa girang dengan pelajarannya
yang baru, dan aku bersyukur karena pelajaran
demi pelajaran seolah membuatnya sedikit lupa
dengan obat-obatannya.
Dan sejak semula sudah kusadari, segalanya
takkan semudah itu.
*

“Pergi kalian!!”
Lelaki-lelaki itu memandang pisau di tanganku dan
tertawa bersamaan. Salah seorang dari mereka
menjilat bibirnya dan menatapku penuh nafsu.
“Jangan, ah. Mending kita pergi bobok.”
“Bangsat!” kuayunkan pisau itu dan membuat
mereka mundur selangkah.
“Aku sudah memanggil polisi.”
Lelaki yang paling belakang mendengus.
“Awas kalian. Tunggu, Thomas.”
Kututup pintu rapat-rapat begitu mereka
melangkah keluar. Kubalikkan tubuhku dan
melangkah menghampiri sosok yang meringkuk
di sudut ruangan. Kubuka lipatan lengannya dan
menatap sedih kearah matanya yang lebam dan
bibirnya yang berdarah.


“Cup-cup, sayang. Mereka sudah pergi.”
Dan kudekap kepala yang bergetar itu di dadaku.
Ah, adikku sayang. Kekasihku sayang.
Sama seperti dulu.
Aku masih melindungimu.
Kukecup ubun-ubun kepalanya dan tanpa terasa
akupun ikut menangis.
Bab III
Pemuda itu tak menyentuhku lagi setelah kejadian
tiga hari yang lalu. Dan itu sangat melegakanku.
Mungkin benar bahwa lecutan yang menyakitkan
mampu membawa cahaya kembali dari
kegelapannya.
Thomas lebih sering menemaniku melalui hari-
hariku dengan membiarkan kepalaku di
dekapannya. Sebagaimana seharusnya seorang
saudara laki-laki terhadap kakak perempuannya.

Di saat-saat itu kusadari, bahwa akupun tidak
sekuat yang kuduga.
Thomas berjanji takkan memakai obat-obatan.
Dan itu berarti sebuah kemungkinan bahwa ia
takkan berurusan dengan orang-orang jahat itu
lagi. Aku senang. Walaupun akhirnya aku jadi
sering bermasturbasi di kamar mandi daripada
melakukan hubungan riil dengan seorang lelaki.
Aku cukup bahagia dengan situasi ini. Dan aku tak
ingin ada yang merubahnya.
Tidak bahkan iblis yang menampakkan dirinya
kembali.
Hari itu.

“Kemana Ijah?”
“Pulang. Sudah bosan, katanya.”
Kuletakkan piranti makan itu di atas meja.
“Hey,” lelaki itu menepuk punggung Thomas,
“tidak biasanya sang pangeran sudah ada di
rumah.”
Dan yang ditepuk hanya menyeringai sambil
melirik ke arahku.

“Makan, Pa.”
Lelaki itu tertawa dan menyendok makanannya.
Mungkin ia merasa bahwa aku yang
memasaknya. Yah, sudahlah. Mana ia pernah
tahu apa kesibukanku selama kepergiannya.
*
Jangan! Jangan lihat kemari!
Kugerakkan tanganku mengusir. Namun Thomas
tetap berdiri di ambang pintu. Tubuh lelaki itu
semakin liar di atasku, mulutnya mendesahkan
kata-kata kerinduan yang luar biasa menyakitkan.
Tangannya bergerak-gerak di sekujur tubuhku,
pinggulnya bergerak naik turun, menghujam
liang kewanitaanku dengan penisnya yang
menegang. Air mata keluar dari mataku.
Jangan lihat ke sini, Thomas.
Kupandangi wajahnya yang tertutup bayang
kegelapan.
Apa yang akan dilakukannya. Jangan, sayang.
Pergi dari sini.

Lelaki itu semakin liar, gerakannya jauh lebih kasar
dari yang sudah-sudah. Kurasakan mataku
terpejam dan bibirku tergigit.
“Ahh..ahk..” lelaki itu mengerang tidak jelas.
Kedua lengannya membalikkan tubuhku dan
batang penisnya memasuki liang kemaluanku dari
belakang. Kuusahakan untuk melirik sekali lagi ke
arah pintu. Dan ia masih di sana. Memandang
tanpa berkedip.
Pergi! Jangan lihat aku!! Pergi!!!
Isakan keluar dari mulutku.
Lelaki itu menegang, menggigit pundakku dan
menyemburkan spermanya di liang kemaluanku.
Tanpa kondom. Tidak. Tidak lagi.
Kubuka mataku, dan Thomas sudah tidak di sana
lagi.
Kubiarkan lelaki itu menindih tubuhku dan
terengah di atasku.

Bab IV

“Aku akan membunuhnya.”
“Jangan!”
Kupegang lengannya dan menariknya dalam
pekukanku.
“Jangan lakukan apapun.”
Kulihat bahunya berguncang. Dan kubiarkan adik
kecilku menangis di dadaku.
“Maafkan aku, Kak.”
Bahkan sudah sejak dulu kau kumaafkan, adikku
sayang.
Tak berapa lama kemudian, kurasakan nafasnya
mulai tenang, dan kubelai rambutnya saat
kusadari bahwa ia sudah tertidur.
*
Namun sejak saat itu kusadari setiap hawa
kematian yang memancar dari matanya saat
menatap laki-laki itu. Sebenarnya aku inginkan hal
yang sama dengannya. Untuk mengakhiri ini
semua. Namun aku tak sanggup. Tangan dan hati
ini melarangku. Walau bagaimanapun merekalah
keluargaku yang tersisa. Sejak mama mulai
jarang menghubungi kami. Dan aku selalu
berusaha keras meyakinkan Thomas untuk tidak
melakukan tindakan-tindakan bodoh yang bisa
menghancurkan sisa-sisa ini. Mungkin itu suatu
hal yang salah menurut orang-orang lain. Tapi
bagiku, yang terpenting adalah bagaimana aku
bisa mempertahankan dan memperbaiki segala
sesuatu yang tertinggal di hidupku.

Karena aku telah banyak kehilangan.
*
“Kamu keluar saja malam ini. Tapi jangan nge-
drugs. Cari gadis yang bisa kamu kencani. Karena
kamu tampan dan gagah. Karena kamu adikku
yang pasti takkan gagal.”
Kubetulkan kerah kemejanya dan memandang
wajahnya yang tampan sambil tersenyum.
Pemuda itu mengusap air yang menitik di ujung
matanya.
“Kakak begitu baik.”
Aku baik? Hahahaha. Ironis sekali untuk seorang
pelacur.
“Tidak juga,” senyumku sambil mengecup
dagunya.
“Dia. Dia akan melakukannya lagi?”
Sudah pasti.
“Sudahlah, nanti kamu terlambat pergi ke pesta.”
Thomas berbalik, namun ia menoleh kembali dan
menggapai lenganku. “Kakak ikut.”
“Hush. Jangan seperti anak kecil.”
Thomas mengerenyitkan alisnya, lalu mengecup
bibirku.

Kali ini tanpa nafsu yang membayang di
matanya.
Hanya seberkas kasih sayang dalam getaran
bibirnya.
“Aku sayang kamu.”
“Aku juga.”
Sejak kapan aku terakhir mengatakan sayang
yang begini tulusnya.
Ah. Steve. Sudah lama sekali bukan?
Kugigiti cincin di jari manisku saat adikku
melangkah keluar.
*
Kuangkat lengan lelaki itu dari tubuhku dan
melangkah keluar untuk menyambut adikku.
Kulihat jam dan sedikit heran karena baru pukul
setengah sebelas. Pikiranku berkecamuk. Sebuah
perasaan aneh menyelinap ke sel-sel otakku,
membuatku merinding dan meremang saat
melalui koridor menuju ke ruang tamu. Suara-
suara mengiang memperingatkan.
Jangan buka pintu itu!
Jangan buka pintu itu!

Bab V

“Sudah lama sekali, D.”
Kupeluk tubuh itu dan kubenamkan kepalaku di
dadanya. Kubiarkan air mata dan isak tangis yang
selama ini kutahan lepas begitu saja. Tangannya
memelukku dan membelai rambutku.
Alangkah indahnya.
Bibirnya mengecup ubun-ubun kepalaku dan
telapak tangannya menepuk punggungku seperti
seorang ibu mendiamkan anaknya.
“I miss you. So much.”
“Sshh. Aku di sini untukmu.”
Kuangkat kepalaku dan tersenyum menatapnya.
Kuangkat lenganku dan menunjukkan cincin di
jari manisku kepadanya.


“Lihat! Bahkan cincin ini masih ada di sini.”
Pemuda tampan itu tertawa dan kulihat air mata
mengalir di pipinya.
“Aku tahu. Aku tahu.”
Steve memeluk tubuhku hangat dan mencium
bibirku. Kulumat seakan tak ingin melepasnya
pergi dari sisiku.
“Steve…ahh….”
Kudesah nafasku saat jemarinya membuka jubah
putih yang kukenakan. Kurasakan dada
telanjangnya menempel di kulitku. Aku
menikmatinya. Sungguh-sungguh
menikmatinya. Dan kuangkat kakiku di sisi
pingangnya, membiarkan bibirnya menelusuri
leherku dan membasahinya.
“Aku merindukanmu, Steve.”
Erangan dan rintihan keluar dari bibirku saat
kurasakan batang penis yang menegang itu
memenuhi liang kemaluanku. Tangannya
menahan punggungku untuk tetap berdiri.

Pinggulnya bergerak dan memainkan hasratku
yang semakin menggila.
Lengannya membaringkanku di atas rerumputan.
Bibirnya mencumbuku dan merayu tanpa kata-
kata, kurasakan dengusan dan helaan nafasnya di
pori-pori kulitku. Penetrasinya membuatku
semakin liar dan terbang bersama sentakan-
sentakan tubuhku.
“Do you still love me…”
Kudesahkan pertanyaan itu di sisi kepalanya yang
menempel di payudaraku. Steve mengangkat
kepalanya dan tersenyum, sejenak meninggalkan
protesku atas gerakannya yang terhenti.
“Selamanya, D. Selamanya.”
Dan kukecup bibirnya mesra.
Tubuh pemuda itu bergerak di atasku,

membuatku semakin terengah dan berkeringat.
Dan kenikmatan ini seakan tiada habis-habisnya,
membuatku mengejang dan mengejang.
Berulang-ulang tanpa henti. Dan segalanya
menjadi gelap seiring hentakan tubuh pemuda
yang kusayangi.
“Steve?”
Namun semuanya terasa begitu gelap.
Gelap sekali.
Dan aku kembali sendiri di ruangan tanpa batas.
*
“Bertahan, D. Sedikit lagi.”
Orang-orang berjubah putih itu. Thomas? Pergi,
Sayang! Mereka mencarimu!~~”Hon…
Plafon-plafon yang memutih di atas mataku.
Rasa perih di punggung dan selangkanganku.
Mana Papa?
“Siapa yang berbuat ini…..”
“Bangsat-bangsat itu……”
“Ini sekarang urusan kami….mohon….”
Steve? Di mana kamu, Sayang?

Bab VI

Surabaya, awal 2001
Angin berhembus lembut menyibak rambutku.
Kulirikkan mataku pada pemuda yang berdiri di
sebelahku. Kerutan di wajahnya membuatnya
semakin mirip dengan iblis itu sendiri. Namun
satu hal yang membedakan, yang berdiri di sini
adalah malaikatku.
“Sudah, D?”
Kugerakkan bola mataku, dan memandang untuk
yang terakhir kalinya ke arah nisan di hadapanku.
Ah, semuanya berakhir sungguh jauh dari
dugaanku.
Untungnya polisi-polisi masih sigap untuk
menangkap bangsat-bangsat itu. Yah, setidaknya
bangsat-bangsat pengedar narkoba itu berhasil
menyelesaikan permasalahanku. Walaupun untuk
itu aku harus rela melepaskan kebebasanku
sebagai seorang mahluk hidup normal dengan
luka di tulang punggung yang melumpuhkanku.
Selamat tingal, Pa.

Semua sudah beres sekarang.
Thomas mengusap air mata yang mengalir lagi di
pipiku.
Kurasakan kursi roda yang kunaiki bergerak
menjauh.
Ya. Aku ingin menjauh dari segalanya ini.
Kulihat mama bersama Oom Frans menunggu di
kejauhan.
Seandainya aku bisa menghambur ke
pelukannya, dan mengatakan betapa girangnya
aku untuk kembali berkumpul bersama dan
berkeluarga. Aku perlu banyak penyesuaian
dengan Oom Frans, begitu pula Thomas. Namun
kurasa itu suatu hal yang ringan, karena
pandangan mata Oom Frans jauh berbeda dari
pandangan iblis itu. Ah. Maafkan aku, Pa. Mungkin
aku masih terlalu trauma untuk memanggilmu
Papa.

Enjoy the hell, Dad.
Kulirik cincin emas yang melingkar di jari
manisku.

I will survive just for him.
Wait for me, Steve.
Sagabor, I love you.

Dan kenyataan kisah ini tersimpan dalam diri dua
anak manusia. Aku dan adikku Thomas. Aku
percaya bahwa suatu hari nanti akan ada
seseorang yang memperbaiki sisi-sisi terkoyak
dalam kehidupan kami.
Seandainya Tuhan memang ada.
Biarlah Ia yang mengurus sisanya.


Adult | GO HOME | Exit
1/738
U-ON

inc Powered by Xtgem.com